Jumat, 06 Desember 2013

Cinta Bukan di Ketiak atau di Telapak Kaki?


Cinta letaknya mungkin bukan di ketiak atau di telapak kaki, namun bisa jadi begitu kan? karena orang memaknai cinta dengan cara yang berbeda. Kata "cinta" sedemikian "menggelitik" bagi saya sehingga saya merasa cinta berada di ketiak atau di telapak kaki saya dan membuat saya tertawa hingga berampun-ampun.
Dengan kata cinta, dua sejoli dapat terikat dalam sebuah hubungan yang bernama "pacaran", nah sebenarnya inti dari pembahasan di sini adalah saya ingin membahas tentang pacaran sebagai sebuah fenomena sosial di masyarakat, yang mungkin bagi sebagian masyarakat dianggap sah-sah saja, dan bagi sebagian lainnya dianggap tabu. Memangnya apa sih arti pacaran itu? Mengapa banyak pasangan menjalin hubungan tersebut?
Yuk simak aja jawaban ala saya sendiri tanpa tercampuri oleh teori apapun dan tokoh manapun di dunia ini.

Arti pacaran: Dari kata dasar pacar, pacar itu ambigu banget, artinya bisa sejenis pewarna kuku, atau pelaku hubungan pacaran. hehe. Sedangkan pacaran sendiri diartikan sebagai tindakannya.
Tapi pada intinya, saya memaknai pacaran sebagai proses perkenalan dua insan manusia yang berbeda jenis kelamin (tapi kalo sama biasanya disebut dengan homo atau lesbi), nah kemudian dari proses perkenalan itu, ada interaksi untuk saling memahami karakteristik pasangan masing-masing, "memahami" di sini bisa dalam berbagai macam wujud, melalui perhatian, pengertian, dkk. -_-
Tapi biasanya, perwujudan pemahaman yang terlalu berlebih dapat merusak hubungan pacaran.
contoh: terlalu sering sms gak penting (udah makan, udah mandi, udah tidur, udah mati?) karena itu gak penting dan ngebosenin.

Tapi pacaran juga ada yang awet banget karena komitmen yang baik, so sweet deh...
contoh: saling meghargai pendapat masing-masing kemudian mencari titik temu agar senantiasa klop.

Mengapa banyak pasangan menjalin hubungan pacaran?
1. karena nge-tren (tren jaman emboh sampai saat ini)
2. karena wajar, pengen saling mengenal
3. karena ada prestise tersendiri (apalagi kalo pacarnya kaya, cakep, atau kece)
4. sampai seterusnya silahkan isi sendiri :P

Rabu, 13 November 2013

SOLIDARITAS DAN GOTONG ROYONG DALAM MASYARAKAT DESA




NAME : RATIH TYAS ARINI
STUDENT NUMB. : 3401412137
SUBJECT : TEORI SOSIOLOGI KLASIK
ASSIGNMENT : PENGAMATAN FAKTA SOSIAL



SOLIDARITAS DAN GOTONG ROYONG DALAM MASYARAKAT DESA


Desa merupakan suatu pemusatan pemukiman yang berada di daerah pedesaan atau juga disebut rural. Membentuk suatu pola tertentu yang biasanya menyesuaikan pada kondisi fisik geografisnya, dan profesi penduduknya menyesuaikan pada potensi lahan geografis sekitar desanya, desa agraris mayoritas penduduknya petani, desa nelayan sebagai nelayan atau petani garam dan desa industri sebagai home industri.
Dengan adanya kesamaan dan kesatuan rasa, karya dan karsa, serta biasanya ada hubungan kerabat dalam suatu desa, membuat masyarakat yang tinggal desa memiliki keintiman yang lebih diantara masing-masing individu maupun rumah tangga dibandingkan dengan masyarakat yang hidup di kota. “Keintiman” ini lah yang perlu dibahas menyesuaikan secara teoritik pada kenyataan fakta sosial yang digagas oleh salah satu tokoh sosiologi yang tidak asing lagi yaitu Emile Durkheim, yang juga pernah mengemukakan teori tentang bunuh diri.

Emile Durkheim, seorang yang berpengaruh besar di dunia sosiologi dan pendiri jurnal ilmiah pertama untuk sosiologi yang bernama L'Anee Sociologique. Merupakan seorang tokoh yang mengemukakan tentang kenyataan fakta sosial dengan asusmsinya yaitu bahwa gejala sosial itu riil dan mempengaruhi kesadaran individu serta perilakunya yang berbeda dari karakteristik psikologis, biologis, atau karakteristik individu lainnya. Karena gejala sosial merupakan fakta yang riil dan gejala-gejala tersebut dapat dipelajari dengan metode-metode empirik sehingga ilmu ini dapat dikembangkan.

Fakta sosial memiliki tiga karakteristik yang berbeda. Pertama, gejala sosial bersifat external terhadap individu. Karakteristik fakta sosial yang kedua adalah bahwa fakta itu memaksa individu, dan yang ketiga, bahwa fakta itu bersifat umum atau tersebar secara meluas dalam satu masyarakat.
Dalam mengamati fakta sosial, terdapat dua bentuk kasus yaitu meterial dan non-material. Dalam hal meterial, menekankan pada gejala fakta sosial yang dapat terlihat jelas oleh mata sebagai bentuk dari sedangkan non-material.

Kali ini akan dibahas salah satu contoh fakta sosial yang tidak bersifat kebendaan atau non material, yaitu rasa solidaritas dan gotong royong yang ada dalam masyarakat desa yang sampai saat ini masih tetap eksis dan lestari sebagai suatu hal yang wajib ada mengitari kehidupan masyarakat desa.
Dalam melakukan kegiatan sosial, masyarakat desa masih memegang teguh rasa solidaritas dan gotong royong, sebagai contoh, dapabila ada kematian, kelahiran dan orang sakit, tetangga-tetangga di desa akan antusias mendatangi yang bersangkutan tersebut sebagai rasa solidaritasnya, atau adanya iuran duka dan bencana apabila ada warga yang mengalami kejadian menyedihkan, maka secara otomatis dengan dikoordinasi oleh masing-masing ketua Rukun Tetangga mereka akan memberi sumbangan seikhlasnya, serta adanya ikut campur masyarakat desa apabila ada warganya yang akan pembangunan rumah, begitupun dengan pembangunan suatu instansi sebagai fasilitas di desa dari pemerintah maupun dalam pembersihan lingkungan.
Semua yang dilakukan itu didasari oleh perasaan solidaritas dan gotong royong, masyarakat memainkan peranannya sesuai dengan apa yang telah ada di desa seperti di masa-masa sebelumnya, karena ternyata ada berbagai macam bentuk “sanksi” apabila ada warga yang tidak melakukan hal tersebut, biasanya ini berlaku pada tetangga yang jaraknya dekat, jika tidak ikut berkontribusi maka akan dirasani atau digunjing oleh tetangga yang lain, dianggap sok priyayi, angkuh maupun egois, dan dikemudian hari orang yang demikian ini akan menemui kesulitan jika pada saatnya nanti dia lah yang membutuhkan bantuan semacam itu dari tetangga-tetangganya, mereka akan memiliki seribu alasan untuk menolak membantunya, yang tentunya secara halus dan berbasa-basi ala orang desa, seperti mengaku tidak enak badan, ada acara lain maupun mencari-cari alasan lain yang sebenarnya tidak perlu ada.
Ini mengidentifikasikan bahwa dalam masyarakat desa terdapat rasa timbal balik melalui tindakan-tindakan yang mereka lakukan untuk sesama warga desa, maka tidak salah jika ada suatu “pembalasan” yang sepadan kepada warga yang tidak suka membantu tetangga yang lain dalam kasus solidaritas dan gotong royong khas masyarakat desa.

Mengenai soidaritas, Emile Durkeim mendalamkan penjelasan tersebut dalam bukunya yang berjudul The Division of Labor in Society yang menganalisa pengaruh atau fungsi kompleksitas dan spesialisasi pembagain kerja dalam struktur sosial dan perubahan-perubahan yang diakibatkannya dalam bentuk-bentuk pokok solidaritas sosial.
Durkeim juga membagi solidaritas menjadi dua kaitannya dalam pertumbuhan pembagaian kerja yang meningkatkan suatu perubahan dalam struktur sosial dari solidaritas mekanik dan organik. Solidaritas mekanik dapat dicontohkan dengan adanya toleransi dalam perbedaan urusan, misahnya Majlis Ulama Indonesia degan pemerintah negara, yang meskipun berbeda urusan tapi satu dengan yang lainnya tetap bersolidaritas dalam berkedidupan bersama.
Kemudian, misalnya dalam suatu perusahaan, hal yang mempersatuka organisasi semacam itu tak lain adalah pengharapan akan imbalan atau keuntungan. Tetapi pengaharapan akan imbalan ataupun keuntungan tersebut tidak menjelaskan secara lengksp sifat integrasi sosial yang ada dalam satu organisasi perusahaan. Sebaliknya, organisasi itu bisa saja memperlihatkan suatu kaitan yang bersifat saling ketergantungan yang penting antara para anggota organisasi yang berpartisipasi di dalamnya dengan masing-masing sumbangan pribadinya yang tergantung pada sumbangan beberapa orang lainnya.
Jadi, dalam perusahaan tersebut ada kecenderungan bahwa orang yang bekerja di mesin,orang yang memperbaiki mesin, pengawas, penjual, yang memegang pembukuan, yang berbelanja alat-alat, manager, ahli hubungan masyarakat, sekretaris, dan sbagainya dengan kegiatan spesialisasi dari orang-orang ini yang saling berhubungan dan saling tergantung sedemikian rupa sehingga sistem itu membentuk solidaritas menyeluruh yang berfungsi yang didasarkan pada saling ketergantungan yang dimaksudkan oleh Durkeim sebagai solidaritas organik.

Durkeim menggunakan istilah solidaritas mekanik dan organik untuk menganalisa masyarakat keseluruhannya, bukan organisasi-organisasi dalam masyarakat. Meskipun demkian, contoh diatas mendeskripsikan sesuatu mengenai unsur-unsur penting, solidaritas mekanik didasarkan pada suatu kesadaran kolektif bersama/collective consciousness, yang mengarah pada totalitas kepercayaan-kepercayaan dan sentimen-sentimen bersama yang rata-rata ada pada warga masyarakat yang sama.

Seperti yang disebutkan pada paragraf awal sebelumnya yaitu Emile Durkheim mengasumsikan bahwa gejala sosial itu riil dan mempengaruhi kesadaran individu serta perilakunya yang berbeda dari karakteristik psikologis, biologis, atau karakteristik individu lainnya. Maka dapat pahami bahwa rasa solidaritas dan gotong royong pada masyarakat desa juga merupakan suatu gejala sosial yang nyata keberadaannya dan mempengaruhi suatu sosial masyarakat secara menyeluruh, bukan hanya tentang pengaruhnya terhadap seseorang atau individu saja.
Ini merupakan kesadaran masyarakat desa terhadap lingkungan sosialnya agar tetap bisa menjaga stabilitas kehidupan bersama dengan baik. Pembiasaan masyarakat menjalankan hubungan sosial secara lebih dekat dengan mengutamakan rasa peduli tidak engenal kelas sosial, yang berada pada kelas sosial yang lebih tinggi maupun sebaliknya serta merta berkecimpung dalam segala aktivitas yang berdasar pada rasa solidaritas dan gotong royong.
Solidaritas yang ada pada masyarakat desa merupakan solidaritas organik berdasar pada hubungan mereka yang saling membutuhkan dan melengkapi satu sama lain serta adanya tingkat saling ketergantungan yang sangat tinggi.

Mengelupas lebih dalam lagi tentang apa yang menjadi karakteristik fakta sosial, yang pertama bahwa gejala sosial bersifat external terhadap individu. Maksudnya ialah, fakta sosial menitikberatkan pada masyarakat secara utuh, bukan tentang individu yang kemudian akan berkaitan dengan gejala psikologis, biologis maupun yang lain yang berkaitan dengan individu.
Disamping itu, individualitas tidak berkembang, individualitas akan teus menerus dilumpuhkan oleh tekanan yang besar sekali untuk penyesuaiannya. Fakta sosial ada pada masyarakat yang secara sadar maupun tidak sadar menjalankan perilaku yang sama sebagai bentuk dari kehidupan sosial mereka, yang jika tidak dijalankan akan memunculkan suatu permasalahan atau kecanggungan atau anggapan menyimpang tertentu yang berdampak pada goncangnya stabilitas kehidupan sosial di dalam masyarakat. Apalagi yang dibahas kali ini merupakan apa yang terjadi pada masyarakat desa, yang lebih peduli dengan lingkungan sosialnya dibanding masyarakat kota, yang bisa dibilang lebih suka “campur tangan” dan mengomentari hal-hal yang tidak biasanya terjadi, hal-hal yang disebut oleh orang desa dari tanah Jawan ora umum dan ora ilok.
Ikatan pada masyarakat desa utamanya banyak ditekankan pada kepercayaan bersama, cita-cita dan komitmen moral, mereka yang sama-sama memiliki kepercayaan dan cita-cita ini merasa bahwa mereka sudah semestinya bersama-sama karena mereka berpikiran serupa.
karakteristik yang kedua yaitu bahwa fakta itu memaksa individu. Dalam artian individu dipaksa, dibimbing, diyakinkan, didorong, atau dengan cara-cara lainnya dipengaruhi oleh berbagai tipe fakta sosial dalam lingkungan sosialnya. Dalam kasus solidaritas dan gotong royong da;am masyarakat desa, ada semacam pemicu untuk melakukan tindakan-tindakan sosial tersebut, mungkin karena telah membudaya yang demikian itu, ada sanksi normatif, penuh perasaan maupun hal lainnya. Individu diseret dalam hal yang telah dilakukan masyarakat secara keseluruhan selama kurun waktu yang telah lama dan menjadi suatu yang harus ada, harus dilakukan, harus dihormati dan terasa aneh bila dilanggar.diakerenakan menimbulkan hal-hal serupa itu, yang demikian juga dapat diartikan sebagai memaksa. Sperti yang penah dikatakan oleh Emile Durkheim : “tipe-tipe perilaku atau berpikr ini, memiliki kekuatan memaksa, yang karenanya mereka memaksa individu terlepas dari kemauan individu itu sendiri”.
Jika dipikirkan memang benar, untuk apa membantu tetangga dan mengikuti kegiatan gotong royong yang menguras tenaga ataupun materi, namun semua itu tetap dilakukan tanpa ingin menyadari pemikiran tersebut. Kembali lagi karena pemikiran lebih khawatir dicerca oleg orang lain. Maka kemudian, komando-komando sosial yang tidak kasat mata yang dianggap sebagai hal yang biasa.
Tidak hanya hukum-hukum represif yang terus menerus menjadi penting (atau malah semakin penting) dalam suatu masyarakat dengan solidaritasnya yang organik, melainkan juga kesadaran kolektif menyumbang pada solidaritas sosial, memperkuat ikatan yang muncul dari saling ketergantungan fungsional yang semakin bertambah. Pertumbuhan dalam pembagian kerja (dan solidaritas organik sebagai hasilnya) tidak menghancurkan kesadaran kolektif; dia hanya mengurangi arti pentingnya dalam peraturan terperinci dalam kehidupan sehari-hari.

Karakteristik yang terakhir, yang ketiga, yaitu bahwa fakta itu bersifat umum atau tersebar secara meluasdalam satu masyarakat. Kita pun mengetahui bahwa imej masyarakat desa itu ada pada solidaritas dan gotong royongnya. Fakta sosial berarti milik bersama, bukan sifat individu perorangan. Sifat umumnya ini bukan sekedar hasil dari penjumlahan beberapa fakta individu.
Fakta sosial benar-benar bersifat kolektif, dan pengaruhnya terhadap individu merupakan hasil dari sifat kolektifnya ini.
Durkheim menghubungkan pengaruh yang terus menerus dari kesadaran kolektif ini dengan individualisme yang semakin meningkat dalam masyarakat-masyarakat organik: melihat memang tidak selamanya solidaritas dan gotong royong akan selalu tegak berdiri dalam kehidupan masyarakat desda yang kini teah dijamah oleh modernisasi dan globalisasi.
“ Namun tidak hendak mengatakan bahwa kesadaran bersama itu terancam musnah seluruhnya. Hanyalah kesadaran itu menjadi semakin meliputi cara-cara berpikir dan berperasaan yang sangat umum dan sangat tidak tentu, yang memberikan peluang terbuka bagi besarnya perbedaan-perbedaan individu yang semakin bertambah. Juga ada peluang dimana kesadaran itu diperkuat dan dibuat tepat; artinya cara dimana kesadaran itu berhubungan dengan individu. Karena semua kepercayaan yang lain dan semua praktek lainnya itu memi;iki suatu sifat yang semakin kurang religius, individu menjadi objek dari semacam agama. Kita mendirikan suatu kultus atas nama martabat prbadi”

Durkeim mempertahankan bahwa kuatnya solidaritas organik itu ditandai oleh pentingnya hukum yang bersifat memulihkan (restitutive) dari pada yang bersifat represif. Tujuan kedua tipe hukum itu sangat berbeda. Hukum represif mengungkapkan kemarahan kolektif yang dirasakan kuat, hukum restitutif berfungsi mempertahankan atau melindungi pola saling ketergantungan yang kompleks antar berbagai ndividu.



SOLIDARITAS DAN GOTONG ROYONG DALAM MASYARAKAT DESA




NAME : RATIH TYAS ARINI
STUDENT NUMB. : 3401412137
SUBJECT : TEORI SOSIOLOGI KLASIK
ASSIGNMENT : PENGAMATAN FAKTA SOSIAL



SOLIDARITAS DAN GOTONG ROYONG DALAM MASYARAKAT DESA


Desa merupakan suatu pemusatan pemukiman yang berada di daerah pedesaan atau juga disebut rural. Membentuk suatu pola tertentu yang biasanya menyesuaikan pada kondisi fisik geografisnya, dan profesi penduduknya menyesuaikan pada potensi lahan geografis sekitar desanya, desa agraris mayoritas penduduknya petani, desa nelayan sebagai nelayan atau petani garam dan desa industri sebagai home industri.
Dengan adanya kesamaan dan kesatuan rasa, karya dan karsa, serta biasanya ada hubungan kerabat dalam suatu desa, membuat masyarakat yang tinggal desa memiliki keintiman yang lebih diantara masing-masing individu maupun rumah tangga dibandingkan dengan masyarakat yang hidup di kota. “Keintiman” ini lah yang perlu dibahas menyesuaikan secara teoritik pada kenyataan fakta sosial yang digagas oleh salah satu tokoh sosiologi yang tidak asing lagi yaitu Emile Durkheim, yang juga pernah mengemukakan teori tentang bunuh diri.

Emile Durkheim, seorang yang berpengaruh besar di dunia sosiologi dan pendiri jurnal ilmiah pertama untuk sosiologi yang bernama L'Anee Sociologique. Merupakan seorang tokoh yang mengemukakan tentang kenyataan fakta sosial dengan asusmsinya yaitu bahwa gejala sosial itu riil dan mempengaruhi kesadaran individu serta perilakunya yang berbeda dari karakteristik psikologis, biologis, atau karakteristik individu lainnya. Karena gejala sosial merupakan fakta yang riil dan gejala-gejala tersebut dapat dipelajari dengan metode-metode empirik sehingga ilmu ini dapat dikembangkan.

Fakta sosial memiliki tiga karakteristik yang berbeda. Pertama, gejala sosial bersifat external terhadap individu. Karakteristik fakta sosial yang kedua adalah bahwa fakta itu memaksa individu, dan yang ketiga, bahwa fakta itu bersifat umum atau tersebar secara meluas dalam satu masyarakat.
Dalam mengamati fakta sosial, terdapat dua bentuk kasus yaitu meterial dan non-material. Dalam hal meterial, menekankan pada gejala fakta sosial yang dapat terlihat jelas oleh mata sebagai bentuk dari sedangkan non-material.

Kali ini akan dibahas salah satu contoh fakta sosial yang tidak bersifat kebendaan atau non material, yaitu rasa solidaritas dan gotong royong yang ada dalam masyarakat desa yang sampai saat ini masih tetap eksis dan lestari sebagai suatu hal yang wajib ada mengitari kehidupan masyarakat desa.
Dalam melakukan kegiatan sosial, masyarakat desa masih memegang teguh rasa solidaritas dan gotong royong, sebagai contoh, dapabila ada kematian, kelahiran dan orang sakit, tetangga-tetangga di desa akan antusias mendatangi yang bersangkutan tersebut sebagai rasa solidaritasnya, atau adanya iuran duka dan bencana apabila ada warga yang mengalami kejadian menyedihkan, maka secara otomatis dengan dikoordinasi oleh masing-masing ketua Rukun Tetangga mereka akan memberi sumbangan seikhlasnya, serta adanya ikut campur masyarakat desa apabila ada warganya yang akan pembangunan rumah, begitupun dengan pembangunan suatu instansi sebagai fasilitas di desa dari pemerintah maupun dalam pembersihan lingkungan.
Semua yang dilakukan itu didasari oleh perasaan solidaritas dan gotong royong, masyarakat memainkan peranannya sesuai dengan apa yang telah ada di desa seperti di masa-masa sebelumnya, karena ternyata ada berbagai macam bentuk “sanksi” apabila ada warga yang tidak melakukan hal tersebut, biasanya ini berlaku pada tetangga yang jaraknya dekat, jika tidak ikut berkontribusi maka akan dirasani atau digunjing oleh tetangga yang lain, dianggap sok priyayi, angkuh maupun egois, dan dikemudian hari orang yang demikian ini akan menemui kesulitan jika pada saatnya nanti dia lah yang membutuhkan bantuan semacam itu dari tetangga-tetangganya, mereka akan memiliki seribu alasan untuk menolak membantunya, yang tentunya secara halus dan berbasa-basi ala orang desa, seperti mengaku tidak enak badan, ada acara lain maupun mencari-cari alasan lain yang sebenarnya tidak perlu ada.
Ini mengidentifikasikan bahwa dalam masyarakat desa terdapat rasa timbal balik melalui tindakan-tindakan yang mereka lakukan untuk sesama warga desa, maka tidak salah jika ada suatu “pembalasan” yang sepadan kepada warga yang tidak suka membantu tetangga yang lain dalam kasus solidaritas dan gotong royong khas masyarakat desa.

Mengenai soidaritas, Emile Durkeim mendalamkan penjelasan tersebut dalam bukunya yang berjudul The Division of Labor in Society yang menganalisa pengaruh atau fungsi kompleksitas dan spesialisasi pembagain kerja dalam struktur sosial dan perubahan-perubahan yang diakibatkannya dalam bentuk-bentuk pokok solidaritas sosial.
Durkeim juga membagi solidaritas menjadi dua kaitannya dalam pertumbuhan pembagaian kerja yang meningkatkan suatu perubahan dalam struktur sosial dari solidaritas mekanik dan organik. Solidaritas mekanik dapat dicontohkan dengan adanya toleransi dalam perbedaan urusan, misahnya Majlis Ulama Indonesia degan pemerintah negara, yang meskipun berbeda urusan tapi satu dengan yang lainnya tetap bersolidaritas dalam berkedidupan bersama.
Kemudian, misalnya dalam suatu perusahaan, hal yang mempersatuka organisasi semacam itu tak lain adalah pengharapan akan imbalan atau keuntungan. Tetapi pengaharapan akan imbalan ataupun keuntungan tersebut tidak menjelaskan secara lengksp sifat integrasi sosial yang ada dalam satu organisasi perusahaan. Sebaliknya, organisasi itu bisa saja memperlihatkan suatu kaitan yang bersifat saling ketergantungan yang penting antara para anggota organisasi yang berpartisipasi di dalamnya dengan masing-masing sumbangan pribadinya yang tergantung pada sumbangan beberapa orang lainnya.
Jadi, dalam perusahaan tersebut ada kecenderungan bahwa orang yang bekerja di mesin,orang yang memperbaiki mesin, pengawas, penjual, yang memegang pembukuan, yang berbelanja alat-alat, manager, ahli hubungan masyarakat, sekretaris, dan sbagainya dengan kegiatan spesialisasi dari orang-orang ini yang saling berhubungan dan saling tergantung sedemikian rupa sehingga sistem itu membentuk solidaritas menyeluruh yang berfungsi yang didasarkan pada saling ketergantungan yang dimaksudkan oleh Durkeim sebagai solidaritas organik.

Durkeim menggunakan istilah solidaritas mekanik dan organik untuk menganalisa masyarakat keseluruhannya, bukan organisasi-organisasi dalam masyarakat. Meskipun demkian, contoh diatas mendeskripsikan sesuatu mengenai unsur-unsur penting, solidaritas mekanik didasarkan pada suatu kesadaran kolektif bersama/collective consciousness, yang mengarah pada totalitas kepercayaan-kepercayaan dan sentimen-sentimen bersama yang rata-rata ada pada warga masyarakat yang sama.

Seperti yang disebutkan pada paragraf awal sebelumnya yaitu Emile Durkheim mengasumsikan bahwa gejala sosial itu riil dan mempengaruhi kesadaran individu serta perilakunya yang berbeda dari karakteristik psikologis, biologis, atau karakteristik individu lainnya. Maka dapat pahami bahwa rasa solidaritas dan gotong royong pada masyarakat desa juga merupakan suatu gejala sosial yang nyata keberadaannya dan mempengaruhi suatu sosial masyarakat secara menyeluruh, bukan hanya tentang pengaruhnya terhadap seseorang atau individu saja.
Ini merupakan kesadaran masyarakat desa terhadap lingkungan sosialnya agar tetap bisa menjaga stabilitas kehidupan bersama dengan baik. Pembiasaan masyarakat menjalankan hubungan sosial secara lebih dekat dengan mengutamakan rasa peduli tidak engenal kelas sosial, yang berada pada kelas sosial yang lebih tinggi maupun sebaliknya serta merta berkecimpung dalam segala aktivitas yang berdasar pada rasa solidaritas dan gotong royong.
Solidaritas yang ada pada masyarakat desa merupakan solidaritas organik berdasar pada hubungan mereka yang saling membutuhkan dan melengkapi satu sama lain serta adanya tingkat saling ketergantungan yang sangat tinggi.

Mengelupas lebih dalam lagi tentang apa yang menjadi karakteristik fakta sosial, yang pertama bahwa gejala sosial bersifat external terhadap individu. Maksudnya ialah, fakta sosial menitikberatkan pada masyarakat secara utuh, bukan tentang individu yang kemudian akan berkaitan dengan gejala psikologis, biologis maupun yang lain yang berkaitan dengan individu.
Disamping itu, individualitas tidak berkembang, individualitas akan teus menerus dilumpuhkan oleh tekanan yang besar sekali untuk penyesuaiannya. Fakta sosial ada pada masyarakat yang secara sadar maupun tidak sadar menjalankan perilaku yang sama sebagai bentuk dari kehidupan sosial mereka, yang jika tidak dijalankan akan memunculkan suatu permasalahan atau kecanggungan atau anggapan menyimpang tertentu yang berdampak pada goncangnya stabilitas kehidupan sosial di dalam masyarakat. Apalagi yang dibahas kali ini merupakan apa yang terjadi pada masyarakat desa, yang lebih peduli dengan lingkungan sosialnya dibanding masyarakat kota, yang bisa dibilang lebih suka “campur tangan” dan mengomentari hal-hal yang tidak biasanya terjadi, hal-hal yang disebut oleh orang desa dari tanah Jawan ora umum dan ora ilok.
Ikatan pada masyarakat desa utamanya banyak ditekankan pada kepercayaan bersama, cita-cita dan komitmen moral, mereka yang sama-sama memiliki kepercayaan dan cita-cita ini merasa bahwa mereka sudah semestinya bersama-sama karena mereka berpikiran serupa.
karakteristik yang kedua yaitu bahwa fakta itu memaksa individu. Dalam artian individu dipaksa, dibimbing, diyakinkan, didorong, atau dengan cara-cara lainnya dipengaruhi oleh berbagai tipe fakta sosial dalam lingkungan sosialnya. Dalam kasus solidaritas dan gotong royong da;am masyarakat desa, ada semacam pemicu untuk melakukan tindakan-tindakan sosial tersebut, mungkin karena telah membudaya yang demikian itu, ada sanksi normatif, penuh perasaan maupun hal lainnya. Individu diseret dalam hal yang telah dilakukan masyarakat secara keseluruhan selama kurun waktu yang telah lama dan menjadi suatu yang harus ada, harus dilakukan, harus dihormati dan terasa aneh bila dilanggar.diakerenakan menimbulkan hal-hal serupa itu, yang demikian juga dapat diartikan sebagai memaksa. Sperti yang penah dikatakan oleh Emile Durkheim : “tipe-tipe perilaku atau berpikr ini, memiliki kekuatan memaksa, yang karenanya mereka memaksa individu terlepas dari kemauan individu itu sendiri”.
Jika dipikirkan memang benar, untuk apa membantu tetangga dan mengikuti kegiatan gotong royong yang menguras tenaga ataupun materi, namun semua itu tetap dilakukan tanpa ingin menyadari pemikiran tersebut. Kembali lagi karena pemikiran lebih khawatir dicerca oleg orang lain. Maka kemudian, komando-komando sosial yang tidak kasat mata yang dianggap sebagai hal yang biasa.
Tidak hanya hukum-hukum represif yang terus menerus menjadi penting (atau malah semakin penting) dalam suatu masyarakat dengan solidaritasnya yang organik, melainkan juga kesadaran kolektif menyumbang pada solidaritas sosial, memperkuat ikatan yang muncul dari saling ketergantungan fungsional yang semakin bertambah. Pertumbuhan dalam pembagian kerja (dan solidaritas organik sebagai hasilnya) tidak menghancurkan kesadaran kolektif; dia hanya mengurangi arti pentingnya dalam peraturan terperinci dalam kehidupan sehari-hari.

Karakteristik yang terakhir, yang ketiga, yaitu bahwa fakta itu bersifat umum atau tersebar secara meluasdalam satu masyarakat. Kita pun mengetahui bahwa imej masyarakat desa itu ada pada solidaritas dan gotong royongnya. Fakta sosial berarti milik bersama, bukan sifat individu perorangan. Sifat umumnya ini bukan sekedar hasil dari penjumlahan beberapa fakta individu.
Fakta sosial benar-benar bersifat kolektif, dan pengaruhnya terhadap individu merupakan hasil dari sifat kolektifnya ini.
Durkheim menghubungkan pengaruh yang terus menerus dari kesadaran kolektif ini dengan individualisme yang semakin meningkat dalam masyarakat-masyarakat organik: melihat memang tidak selamanya solidaritas dan gotong royong akan selalu tegak berdiri dalam kehidupan masyarakat desda yang kini teah dijamah oleh modernisasi dan globalisasi.
“ Namun tidak hendak mengatakan bahwa kesadaran bersama itu terancam musnah seluruhnya. Hanyalah kesadaran itu menjadi semakin meliputi cara-cara berpikir dan berperasaan yang sangat umum dan sangat tidak tentu, yang memberikan peluang terbuka bagi besarnya perbedaan-perbedaan individu yang semakin bertambah. Juga ada peluang dimana kesadaran itu diperkuat dan dibuat tepat; artinya cara dimana kesadaran itu berhubungan dengan individu. Karena semua kepercayaan yang lain dan semua praktek lainnya itu memi;iki suatu sifat yang semakin kurang religius, individu menjadi objek dari semacam agama. Kita mendirikan suatu kultus atas nama martabat prbadi”

Durkeim mempertahankan bahwa kuatnya solidaritas organik itu ditandai oleh pentingnya hukum yang bersifat memulihkan (restitutive) dari pada yang bersifat represif. Tujuan kedua tipe hukum itu sangat berbeda. Hukum represif mengungkapkan kemarahan kolektif yang dirasakan kuat, hukum restitutif berfungsi mempertahankan atau melindungi pola saling ketergantungan yang kompleks antar berbagai ndividu.



Rabu, 17 April 2013

Kehidupan Spiritualitas Masyarakat Jawa, etnografi analitis?


            Tulisan di bawah dengan judul “Kehidupan Spiritualitas Masyarakat Jawa” sebenarnya merupakan sebuah sub bab dari buku yang berjudul “Falsafah dan Pandangn Hidup Orang Jawa” yang telah ditulis oleh Yana MH. Penulis tersebut bereferensi pada beberapa buku yang salah satu bukunya membuat saya memberanikan diri untuk mencantumkan tulisan di bawah sebagai salah satu etnografi analitis. Adapun salah satu buku tersebut adalah dari Koentjaraningrat yang berjudul “Kebudayaan Jawa Seri Etnografi Indonesia”, dan buku-buku lainnya yaitu berjudul “Pengantar Tata Hukum Indonesia” karya Soediman Kartohadiprodjo, “Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat” karya Soerojo Wignjodipero dan “Falsafah Hidup Jawa” karya Suwardi Endraswara.
            Tulisan di bawah dapat dikategorikan sebagai etnografi analitis dengan didasari oleh beberapa alasan, yang pertama, pembahasan yang ada di dalam tulisan di bawah memfokuskan pada satu hal yang bersangkut paut dengan kehidupan manusia khususnya orang jawa pada titik kehidupan spiritualitasnya dan dijelaskan dengan cukup runtut dan detail, yang kedua adanya penjelasan-penjelasan makna yang cukup tajam yang menjelaskan kembali arti murni atau yang sebenarnya dimaksud oleh orang Jawa sehingga kemungkinan adanya kesalahpahaman persepsi publik terhadap keyakinan orang Jawa terhadap Tuhan dapat ditepiskan.
            Yang terakhir, meskipun penulis tidak mencantumkan konsep pemikiran tokoh tertentu secara langsung, namun dari referensi atau daftar pustaka yang ada menunjukkan bahwa penulisan tersebut tidak jauh dari maksud penulisan etnografi. Tulisan ini hanya satu sub bab dari empat puluh tujuh total keseluruhan sub bab yang dapat menjelaskan perdebatan parsepsi publik tentang masyarakat Jawa, adapun dalam bukunya membahas banyak sub bab antara lain mencakup tata krama, tradisi, pantangan, kebiasaan dengan butir-butir budaya Jawa, karakter dan ritual masyarak Jawa yang cukup detail penjelasannya.



Kehidupan Spiritualitas Masyarakat Jawa
(Yana MH.)

Tuhan adalah “Sangkan Paraning Dumadi”. Ia adalah sang Sangkan sekaligus sang Paran, karena itu juga disebut Sang Hyang Sangkan Paran. Ia hanya satu, tanpa kembaran, dalam bahasa Jawa dikatakan Pangeran iku mung sajuga, tan kinembari. Orang Jawa biasa menyebut “Pangeran” artinya raja, sama dengan pengertian “Ida Ratu” di Bali.
Masyarakat tradisional sering mengartikan “Pangeran” dengan “kirata basa”. Kata pangeran berasal dari kata “Pangengeran”, yang artinya “tempat bernaung atau berlindung”. Yang di Bali disebut “sweca”. Sedang wujud-Nya tak tergambarkan, karena pikiran tak mampu mencapainya dan kata-kata tak dapat menerangkan-Nya. Didefinisikan pun tidak mungkin, sebab kata-kata hanyalah hasil pikiran hingga tak dapat digunakan untuk menggambarkan kebenaran-Nya.
Karena itu, orang Jawa menyebutnya “tan kena kinaya ngapa” (tak dapat disepertikan). Artinya, sama dengan sebutan “Acintya” dalam ajaran Hindu. Terhadap Tuhan, manusia hanya bisa memberikan sebutan sehubungan dengan peranan-Nya. Karena itu kepada-Nya diberikan banyak sebutan, misalnya: Gusti Kang Karya Jagad (Sang Pembuat Jagad), gusti Kang Gawe Urip (Sang Pembuat Kehidupan), Gusti Kang Murbeng Dumadi (Penentu nasib semua makhluk), Gusti Kang Maha Agung (Tuhan yang Maha Besar), dan lain-lain.
Tentang hubungan Tuhan dan ciptaan-Nya, orang Jawa menyatakan bahwa Tuhan menyatu dengan ciptaan-Nya. Persatuan antara Tuhan dan ciptaan-Nya itu digambarkan sebagai “curiga manjing warangka, warangka manjing curiga”, seperti keris masuk ke dalam sarungnya, seperti sarung memasuki kerisnya. Meski ciptaanya selalu berubah atau “dumadi”, Tuhan tidak terpengaruh oleh perubahan yang terjadi pada ciptaan-Nya.
Dalam sebuah kalimat, orang Jawa mengatakan: Pangeran nganakake geni manggon ing geni nanging ora kobong dening geni, nganakake banyu manggon ing banyu ora teles dening banyu. Artinya, Tuhan mengadakan api, berada di dalam api, namun tidak terbakar, mencipta air bertempat di air tetapi tidak basah. Sama dengan pengertian wyapi, wyapaka dan nirwikara dalam agama Hindu.
Oleh karena itu Tuhan pun disimbolkan sebagai bunga “teratai” atau “sekar tanjung”, yang tidak pernah basah dn kotor meski bertempat di air keruh. Menyatunya Tuhan dengan ciptaan-Nya secara simbolis juga dikatakan “kaya kodhok ngemuli leng, kaya kodhok kinemulan ing leng”, seperti katak menyelimuti liangnya dan seperti katak terselimuti liangnya.
Dengan pengertian demikian, maka jarak antara Tuhan dan ciptaan-Nya pun menjadi tak terukur lagi. Tentang hal ini orang Jawa mengatakan: “adoh tanpa wangenan, cedhak tanpa senggolan”, artinya jauh tanpa batas, dekat namun tak bersentuhan.
Di sini pengertian Gusti adalah Tuhan yang juga disebut Ingsun, sedang kawula adalah Atman yang juga disebut Sira, hingga kalimat “Tat Twam Asi” pun secara tepat dijawakan dengan kata-kata “Sira iku Ingsun” atau “Engkau adalah Aku”, yang artinya sama dengan kata-kata “Atman itu Brahman”.
Pemahaman yang demikian itu tentunya memungkinkan terjadinya salah tafsir, karena menganggap manusia itu sama dengan Tuhan. Untuk menghindari pendapat yang demikian, orang Jawa dengan bijak menepis dengan kata-kata “ya ngono ning ora ngono”, yang artinya “ya begitu tetapi tidak seperti itu”.
Mungkin sikap demikian inilah yang sesekali muncul anggapan bahwa pada dasarnya orang Jawa penganut pantheisme yang polytheisis, sebab pengertian keberadaan Tuhan yang menyatu dengan ciptaan-Nya ditafsirkan sebagai Tuhan  berada di apa saja dan siapa saja, hingga apa saja dan siapa saja bisa di Tuhankan.
Sejak zaman awal kehidupan Jawa (masa pra Hindu-Buddha), masyarakat Jawa telah memiliki sikap spiritual tersendiri. Pada zaman Jawa kuno, masyarakat Jawa menganut kepercayaan animisme-dinamisme. Yang terjadi sebenarnya adalah: masyarakat Jawa saat itu telah memiliki kepercayaan akan adanya kekuatan yang bersifat: tak terlihat (ghaib), besar dan menakjubkan. Mereka menaruh harapan agar mendapat perlindungan, dan juga berharap agar tidak diganggu kekuatan ghaib lain yang jahat (roh-roh jahat).
Hindu dan Buddha masuk ke pulau Jawa dengan membawa konsep baru tentang kekuatan-kekuatan ghaib. Kerajaan-kerajaan yang berdiri memunculkan figur raja-raja yang dipercaya sebagai dewa atau titisan dewa.
Maka berkembanglah budaya untuk patuh pada raja, karena raja diposisikan sebagai 'imam' yang berperan sebagai pembawa esensi kedewataan di dunia. Selain itu berkembang pula sarana komunikasi langsung dengan Tuhan (Sang Pemilik Kekuatan), yaitu dengan laku spiritual khusu seperti semedi, tapa, dan pasa (puasa),
Jaman kerajaan Jawa-Islam membawa pengaruh besar pada masyarakat, dengan dimulainya proses peralihan keyakinan dari Hindu-Buddha ke Islam. Anggapan bahwa raja adalah 'imam' dan agama ageming aji-lah yang turut menyebabkan beralihnya agama masyarakat karena beralihnya agama raja, disamping peran aktif ulama masa itu.
Para penyebar Islam memperkenalkan Islam yang bercorak tasawuf. Pandangan hidup masyarakat Jawa sebelumnya yang bersifat mistik (mysticism) dapat sejalan, untuk kemudian mengakui Islam tasawuf sebagai keyakinan mereka.
Spiritual Islam Jawa, yaitu dengan warna tasawuf (Islam Sufi), berkembang juga karena peran sastrawan Jawa yang telah beragama Islam. Ciri pelaksanaan tasawuf yang menekankan padz berbagai latihan spiritual, seperti dzikir dan puasa, berulang kali disampaikan dalam karya-karya sastra.
Ngelmu iku kalakone kanthi laku. Lekase lawan kas, tegese kas nyamkosani. Setya budya pangekese dur angkara.
Artinya :
Ngelmu (ilmu) itu hanya dapat dicapai dengan laku (mujahadah), dimulai dengan niat yang teguh, arti kas menjadikan sentosa. Iman yang teguh untuk mengatasi segala godaan rintangan dan kejahatan.
Di sini ngelmu lebih dekat dengan ajaran tasawuf, yaitu ilmu hakikat/ilmu batin, karena dijalani dengan mujahadah/laku spiritual yang berat. Dalam masyarakat Jawa, laku spiritual yang sering dilakukan adalah dengan tapa, yang hampir selalu dibarengi dengan pasa (berpuasa).

Minggu, 14 April 2013

Tahap Perkembangan Pemikiran Manusia (August Comte)

Dari buku Sosiologi Perubahan Sosial
Piotr Sztompka
Dalam buku Sosiologi Perubahan Sosial oleh Piotr Sztompka, disebutkan bahwa August Comte merupakan


 salah satu dari enam tokoh yang termasuk dalam tokoh evolusionisme sosiologis. Adapun yang dimaksud






 dengan evolusionisme sosiologis merupakan konsep pertumbuhan menyediakan inti gagasan sosiologi


 tentang evolusi, menjadi landasan bagi aliran teoritis yang berpengaruh dalam study perubahan sosial. 




Evolusionisme sosiologis ini lebih dulu lahir ketimbang evolusionisme biologis (Darwinisme) dan sangat


 berbeda antara keduanya.
Enam tokoh evolusionisme sosiologis yaitu August Comte, Herbert Spencer, Morgan, Emile Durkheim,


 Tonnies dan Ward. Menyoroti pada teori yang dikemukakan oleh August Comte, dia adalah pencetus 




konsep evolusi idealis. Comte berasumsi bahwa untuk memahami periode kelahiran modernitas kita perlu


 menempatkannya dalam konteks historis yang lebih luas, yaknimemperlakukannya hanya sebagai salah satu


 fase saja dari perjalanan panjang sejarah umat manusia. Masyarakat kapitalis, industrial, urban, tidak muncul


 secara kebetulan, tetapi merupakan hasil wajar dari proses terdahulu. Mustahil orang dapat memberikan


penjelasan, memprediksi, dan menentukan arah perkembangan fenomena modern secara memadai tanpa


merekonstruksi pola dan mekanisme seluruh sejarah terdahulu.
Menurut Comte pemikiran manusia berkembang melalui tiga tahap, tahapannya dari pemikiran dikarenakan


derajat pengetahuan yang dimiliki masyarakat memengaruhi atau menentukan semua aspek kehidupan


 masyarakat lainnya. Adapun tiga tahap tersebut adalah :


  1. Tahap Teologis: Di tahap ini, permohonan manusia terhadap kekuatan gaib(supernatural) dan segala

     kejadian di dunia dianggap sebagai kehendak kekuatan gaib itu. Manusia menyerah pada semangat 


    atau roh yang terdapat di dalam benda, pohon, dan binatang (fetishme, animisme), kemudian memuja


    ssejumlah Tuhan yang diyakini bertanggung jawab atas berbagai fase kehidupan (politeisme)cdan


     terakhir menyembah satu Tuhan Maha Kuasa. Periode ini ditandai oleh dominasi kehidupan militer


     dan berkembangnya lembaga perbudakan.
  2. Tahap Metafisik: Tahap ini muncul segera setelah manusia menggantikan Tuhan dengan zat atau 

    penyebab yang abstrak. Prinsip-prinsip fundamental tentang realitas dipahami dengan nalar. Gagasan


     kedaulatan, kekuasaan hukum dan pemerintahan berdasarkan hukum dominan dalam kehidupan


     pilitik.

  3. Tahap Positif: Tahap ini tercapai segera setelah manusia menyerahkan diri pada hukum yang 
    berdasarkan bukti empiris, pengamatan, perbandingan, dan eksperimen. Inilah abad ilmu pengetahuan


     dan industrialisme. Segera setelah tahap positif tercapai,perkembangan berlanjut tanpa henti, ilmu


     berkembang pesat, dapat memperkirakan realitas hingga ke tingkat yang makin luas, namun tak 


    pernah mencapai kebenaran terakhir dan sempurna. Himpunan pengetahuan manusia terus meningkat


     dan bertambah luas. Pertumbuhan pengetahuan secara kumulatif dan kuantitatif segera setelah kualitas


     tertinggi pengetahuan positif t

Senin, 18 Maret 2013

Kenangan di Pantai Pasir Putih

Saat libur kampus semester ganjil, saya gunakan waktu panjang itu untuk menambah pengetahuan seputar bahasa Inggris di Pare-Kediri, saya bersama beberapa teman menyempatkan diri untuk mengunjungi Pantai Pasir Putih yang ada di Trenggalek-Jawa Timur saat weekend. Jarak dari Pare ke Trenggalek sebenarnya tidak terlalu jauh, namun, dikarenakan diantara kami belum pernah ada yang berkunjung kesana jadi kami sempat sedikit tersesat dan hal tersebut membuat waktu dan jarak tempuh terasa menjadi lebih lama. Sesampainya disana, kami berteduh saja dikarenakan cuaca panas dan sinar matahari siang sangat terik. Tapi setelah matahari agak condong, saya bersama salah satu teman mulai mendekat ke air, lebih dekat lagi, dan akhirnya kami berenang disana selama kurang lebih setengah jam. Sangat mengasikkan!
Banyak pengunjung yang datang, salah satu alasan mereka mungkin juga sama dengan kami, yaitu menghabiskan weekend untuk berlibur.
Hingga sore hari pantai sudah sepi, kami pun baru menyadari bahwa di tepi pantai yang terparkir hanya tiga motor, yang tak lain merupakan motor kami. :)

Betapa menyenangkan dan melelahkannya hari itu, bersama Izza, kak Rian, Alfian dan satu orang temannya.