Tulisan
di bawah dengan judul “Kehidupan Spiritualitas Masyarakat Jawa”
sebenarnya merupakan sebuah sub bab dari buku yang berjudul “Falsafah
dan Pandangn Hidup Orang Jawa” yang telah ditulis oleh Yana MH.
Penulis tersebut bereferensi pada beberapa buku yang salah satu
bukunya membuat saya memberanikan diri untuk mencantumkan tulisan di bawah sebagai salah satu etnografi analitis. Adapun salah satu buku
tersebut adalah dari Koentjaraningrat yang berjudul “Kebudayaan
Jawa Seri Etnografi Indonesia”, dan buku-buku lainnya yaitu
berjudul “Pengantar Tata Hukum Indonesia” karya Soediman
Kartohadiprodjo, “Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat” karya
Soerojo Wignjodipero dan “Falsafah Hidup Jawa” karya Suwardi
Endraswara.
Tulisan
di bawah dapat dikategorikan sebagai etnografi analitis dengan
didasari oleh beberapa alasan, yang pertama, pembahasan yang ada di
dalam tulisan di bawah memfokuskan pada satu hal yang bersangkut paut
dengan kehidupan manusia khususnya orang jawa pada titik kehidupan
spiritualitasnya dan dijelaskan dengan cukup runtut dan detail, yang
kedua adanya penjelasan-penjelasan makna yang cukup tajam yang
menjelaskan kembali arti murni atau yang sebenarnya dimaksud oleh
orang Jawa sehingga kemungkinan adanya kesalahpahaman persepsi publik
terhadap keyakinan orang Jawa terhadap Tuhan dapat ditepiskan.
Yang
terakhir, meskipun penulis tidak mencantumkan konsep pemikiran tokoh
tertentu secara langsung, namun dari referensi atau daftar pustaka
yang ada menunjukkan bahwa penulisan tersebut tidak jauh dari maksud
penulisan etnografi. Tulisan ini hanya satu sub bab dari empat puluh
tujuh total keseluruhan sub bab yang dapat menjelaskan perdebatan
parsepsi publik tentang masyarakat Jawa, adapun dalam bukunya
membahas banyak sub bab antara lain mencakup tata krama, tradisi,
pantangan, kebiasaan dengan butir-butir budaya Jawa, karakter dan
ritual masyarak Jawa yang cukup detail penjelasannya.
Kehidupan Spiritualitas Masyarakat Jawa
(Yana MH.)
Masyarakat tradisional sering mengartikan “Pangeran” dengan “kirata basa”. Kata pangeran berasal dari kata “Pangengeran”, yang artinya “tempat bernaung atau berlindung”. Yang di Bali disebut “sweca”. Sedang wujud-Nya tak tergambarkan, karena pikiran tak mampu mencapainya dan kata-kata tak dapat menerangkan-Nya. Didefinisikan pun tidak mungkin, sebab kata-kata hanyalah hasil pikiran hingga tak dapat digunakan untuk menggambarkan kebenaran-Nya.
Karena itu, orang Jawa menyebutnya “tan kena kinaya ngapa” (tak dapat disepertikan). Artinya, sama dengan sebutan “Acintya” dalam ajaran Hindu. Terhadap Tuhan, manusia hanya bisa memberikan sebutan sehubungan dengan peranan-Nya. Karena itu kepada-Nya diberikan banyak sebutan, misalnya: Gusti Kang Karya Jagad (Sang Pembuat Jagad), gusti Kang Gawe Urip (Sang Pembuat Kehidupan), Gusti Kang Murbeng Dumadi (Penentu nasib semua makhluk), Gusti Kang Maha Agung (Tuhan yang Maha Besar), dan lain-lain.
Tentang hubungan Tuhan dan ciptaan-Nya, orang Jawa menyatakan bahwa Tuhan menyatu dengan ciptaan-Nya. Persatuan antara Tuhan dan ciptaan-Nya itu digambarkan sebagai “curiga manjing warangka, warangka manjing curiga”, seperti keris masuk ke dalam sarungnya, seperti sarung memasuki kerisnya. Meski ciptaanya selalu berubah atau “dumadi”, Tuhan tidak terpengaruh oleh perubahan yang terjadi pada ciptaan-Nya.
Dalam sebuah kalimat, orang Jawa mengatakan: Pangeran nganakake geni manggon ing geni nanging ora kobong dening geni, nganakake banyu manggon ing banyu ora teles dening banyu. Artinya, Tuhan mengadakan api, berada di dalam api, namun tidak terbakar, mencipta air bertempat di air tetapi tidak basah. Sama dengan pengertian wyapi, wyapaka dan nirwikara dalam agama Hindu.
Oleh karena itu Tuhan pun disimbolkan sebagai bunga “teratai” atau “sekar tanjung”, yang tidak pernah basah dn kotor meski bertempat di air keruh. Menyatunya Tuhan dengan ciptaan-Nya secara simbolis juga dikatakan “kaya kodhok ngemuli leng, kaya kodhok kinemulan ing leng”, seperti katak menyelimuti liangnya dan seperti katak terselimuti liangnya.
Dengan pengertian demikian, maka jarak antara Tuhan dan ciptaan-Nya pun menjadi tak terukur lagi. Tentang hal ini orang Jawa mengatakan: “adoh tanpa wangenan, cedhak tanpa senggolan”, artinya jauh tanpa batas, dekat namun tak bersentuhan.
Di sini pengertian Gusti adalah Tuhan yang juga disebut Ingsun, sedang kawula adalah Atman yang juga disebut Sira, hingga kalimat “Tat Twam Asi” pun secara tepat dijawakan dengan kata-kata “Sira iku Ingsun” atau “Engkau adalah Aku”, yang artinya sama dengan kata-kata “Atman itu Brahman”.
Pemahaman yang demikian itu tentunya memungkinkan terjadinya salah tafsir, karena menganggap manusia itu sama dengan Tuhan. Untuk menghindari pendapat yang demikian, orang Jawa dengan bijak menepis dengan kata-kata “ya ngono ning ora ngono”, yang artinya “ya begitu tetapi tidak seperti itu”.
Mungkin sikap demikian inilah yang sesekali muncul anggapan bahwa pada dasarnya orang Jawa penganut pantheisme yang polytheisis, sebab pengertian keberadaan Tuhan yang menyatu dengan ciptaan-Nya ditafsirkan sebagai Tuhan berada di apa saja dan siapa saja, hingga apa saja dan siapa saja bisa di Tuhankan.
Sejak zaman awal kehidupan Jawa (masa pra Hindu-Buddha), masyarakat Jawa telah memiliki sikap spiritual tersendiri. Pada zaman Jawa kuno, masyarakat Jawa menganut kepercayaan animisme-dinamisme. Yang terjadi sebenarnya adalah: masyarakat Jawa saat itu telah memiliki kepercayaan akan adanya kekuatan yang bersifat: tak terlihat (ghaib), besar dan menakjubkan. Mereka menaruh harapan agar mendapat perlindungan, dan juga berharap agar tidak diganggu kekuatan ghaib lain yang jahat (roh-roh jahat).
Hindu dan Buddha masuk ke pulau Jawa dengan membawa konsep baru tentang kekuatan-kekuatan ghaib. Kerajaan-kerajaan yang berdiri memunculkan figur raja-raja yang dipercaya sebagai dewa atau titisan dewa.
Maka berkembanglah budaya untuk patuh pada raja, karena raja diposisikan sebagai 'imam' yang berperan sebagai pembawa esensi kedewataan di dunia. Selain itu berkembang pula sarana komunikasi langsung dengan Tuhan (Sang Pemilik Kekuatan), yaitu dengan laku spiritual khusu seperti semedi, tapa, dan pasa (puasa),
Jaman kerajaan Jawa-Islam membawa pengaruh besar pada masyarakat, dengan dimulainya proses peralihan keyakinan dari Hindu-Buddha ke Islam. Anggapan bahwa raja adalah 'imam' dan agama ageming aji-lah yang turut menyebabkan beralihnya agama masyarakat karena beralihnya agama raja, disamping peran aktif ulama masa itu.
Para penyebar Islam memperkenalkan Islam yang bercorak tasawuf. Pandangan hidup masyarakat Jawa sebelumnya yang bersifat mistik (mysticism) dapat sejalan, untuk kemudian mengakui Islam tasawuf sebagai keyakinan mereka.
Spiritual Islam Jawa, yaitu dengan warna tasawuf (Islam Sufi), berkembang juga karena peran sastrawan Jawa yang telah beragama Islam. Ciri pelaksanaan tasawuf yang menekankan padz berbagai latihan spiritual, seperti dzikir dan puasa, berulang kali disampaikan dalam karya-karya sastra.
Ngelmu iku kalakone kanthi laku. Lekase lawan kas, tegese kas nyamkosani. Setya budya pangekese dur angkara.
Artinya :
Ngelmu (ilmu) itu hanya dapat dicapai dengan laku (mujahadah), dimulai dengan niat yang teguh, arti kas menjadikan sentosa. Iman yang teguh untuk mengatasi segala godaan rintangan dan kejahatan.
Di sini ngelmu lebih dekat dengan ajaran tasawuf, yaitu ilmu hakikat/ilmu batin, karena dijalani dengan mujahadah/laku spiritual yang berat. Dalam masyarakat Jawa, laku spiritual yang sering dilakukan adalah dengan tapa, yang hampir selalu dibarengi dengan pasa (berpuasa).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar